Indonesia dinyatakan sebagai negara gagal (failed state). Rakyat tambah miskin dan terancam kelaparan, konglomerat tambah kaya. Kenapa?
Al Amin Nur Nasution ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis dinihari , 10 April 2008, di hotel mewah Ritz Carlton, Jakarta.
Bersama anggota Komisi Kehutanan DPR dan Ketua PPP Wilayah Jambi itu
diringkus pula Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan, Azirwan, dua
stafnya, dan seorang wanita muda.
KPK
menuduh Amin menerima suap dari Azirwan guna mengalihkan fungsi hutan
lindung di Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai barang bukti disita
uang Rp 71 juta dan 33.000 dollar Singapore. Peristiwa ini menjadi berita besar, terutama di segmen hiburan TV, karena Amin adalah suami penyanyi terkenal Kristina.
Sore
harinya, KPK menangkap dan menahan Gubernur Bank Indonesia (BI)
Burhanuddin Abdullah. Ia dituduh menyalah-gunakan Rp 100 milyar dana
Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) milik BI. Uang itu, Rp
68,5 milyar, dipakai membantu penyelesaian perkara pidana sejumlah bekas
pejabat BI. Diduga untuk menyuap para pejabat hukum. Sisanya, Rp 31,5
milyar, diberikan ke sejumlah anggota DPR. Waktu itu, tahun 2003, DPR
sedang membahas revisi Undang-Undang BI. Sejumlah anggota DPR diperiksa,
walau belum ada yang dinyatakan sebagai tersangka.
Tahun
lalu, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Rochmin Dahuri yang diadili
dalam perkara penyalahgunaan keuangan di departemennya, membongkar
banyak nama politisi yang menerima uang darinya. Dunia politik Indonesia pun terguncang. Para
politisi ramai-ramai membantah. Hanya mantan Ketua MPR Amien Rais yang
berani tampil secara kesatria. Ia mengakui menerima dana sekitar Rp 200
juta dari Rochmin dan ia gunakan untuk kampanye pemilihan Presiden
(Pilpres).
Tapi
Amien tak kepalang tanggung. Ia sekalian bertekad membongkar segala
macam permainan dana politik yang terjadi selama ini, termasuk bantuan
dari Amerika Serikat untuk salah satu pasangan calon Presiden (Capres).
Tekad Amien tak kesampaian. Ia kemudian bertemu Presiden SBY di Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah Jakarta,
lalu isu dana politik yang menjadi silang-sengketa itu diselesaikan
secara ‘’adat’’. Kasus itu pun hilang dari wacana, dan Amien Rais tak
pernah diadili dalam urusan dana Rochmin. Klop.
Namun
sesungguhnya masalah mendasar tak pernah diselesaikan. Maka kasus Amien
Rais, dana YPPI untuk DPR, atau kasus Al Amin Nasution dan semacamnya
akan terus bermunculan. Para
anggota DPR atau kaum politisi boleh marah pada group Slank. Tapi
ejekan dalam lagu mereka bahwa di mata Mafia Senayan UUD adalah
singkatan dari Ujung-Ujungnya Duit, kian lama akan kian sulit
dibantah. Keterlibatan para politisi dengan korupsi – baik di legislatif
mau pun eksekutif — adalah isu sehari-hari.
Itu tak lain karena Indonesia
telah terjebak dengan sistem politik yang amat koruptif. Sebuah sistem
yang menyebabkan para pelaku politik harus melakukan korupsi untuk
mempertahankan eksistensinya. Bagaima bisa begitu?
Sejak reformasi 1998, Indonesia
menggunakan sistem politik dan ekonomi liberal. UUD 1945 dirombak, DPR
kemudian memproduksi begitu banyak undang-undang politik atau ekonomi
yang pada prinsipnya adalah liberal.
Sekadar contoh, pekan ini, DPR menyetujui undang-undang yang menyebabkan seluruh pelabuhan laut di Indonesia bebas dikelola perusahaan asing. Padahal negeri paling liberal Amerika Serikat saja melarang pelabuhannya dikelola Dubai Port, sebuah BUMN dari Timur Tengah.
Para pendukungnya menyebut Indonesia memasuki era demokratis. Inilah sistem yang katanya ampuh merubuhkan tembok Berlin dan menggulung komunisme di tahun 1990-an. Indonesia dipuja-puji sebagai negara demokrasi terbesar setelah India dan Amerika.
Buku The End of History and the Last Man,
yang ditulis Francis Fukuyama, seorang neo-konservatif, di tahun 1992,
bagi banyak pendukung sistem liberal di sini, dijunjung seakan kitab
suci. Mereka menganggap seluruh dunia merindukan sistem demokrasi
liberal, seperti ditulis buku itu, termasuk Indonesia. (Setelah kegagalan Amerika ‘’menyebarkan demokrasi’’ di Iraq, Fukuyama kerepotan dengan bukunya. Pengajar Johns Hopkins University ini kemudian menjadi pengeritik neo-konservatif, kelompok penghasut perang itu).
Dana 26 Juta Dollar dari Amerika
Padahal
sebenarnya di tahun 1991, Profesor Samuel P.Huntington dari Universitas
Harvard, sudah memberi syarat bagaimana sebuah negara bisa sukses
beralih dari sistem otoritarianisme menjadi demokrasi (baca sebagai demokrasi liberal) di dalam buku The Third Wave: Democratization ini the Late Twentieth Century, yang sering jadi rujukan itu.
Huntington menulis bahwa income
per capita menjadi syarat demokratisasi. Semakin tinggi income per
capita atau pendapatan rata-rata penduduk sebuah negara, semakin mulus
peralihan terjadi. Begitu sebaliknya. Negara dengan penduduk miskin yang
beralih menjadi demokratis, menurut studi Huntington, kebanyakan akan kembali lagi menjadi otoritarianisme.
Indonesia jelas masuk kategori berpendapatan rendah . Tapi dalam eforia reformasi 1998, siapa peduli petuah Huntington.
Apalagi kemudian ternyata ada dana 26 juta dollar dari lembaga donor
Pemerintah Amerika Serikat, US-AID, di balik hiruk-pikuk reformasi
(lihat artikel Tim Weiner, The New York Times, 20 Mei 1998). Suatu jumlah yang cukup besar untuk menggerakkan apa saja di Indonesia.
Kini,
telah 10 tahun reformasi berlangsung. Lihatlah betapa menyedihkan
keadaan negeri ini. Yang lebih memilukan sekaligus memalukan, kini Indonesia termasuk di dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007 (failed state index 2007). Indeks itu dibuat Majalah Foreign Policy yang berwibawa, bekerja sama dengan lembaga think-tank Amerika, the Fund for Peace.
Banyak
ukuran dalam membuat indeks itu. Tapi secara umum disebutkan, antara
lain, pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum
jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Negara
paling gagal adalah Sudan, Iraq, Somalia, dan Zimbabwe.
Tapi coba bayangkan Indonesia masuk satu jajaran dengan negeri itu,
bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, semacam Timor
Timur, Myanmar, Konggo, Haiti, Ethiopia, dan Uganda.
Hari-hari
ini, berita radio, TV, dan koran dihiasi kisah penderitaan anak-anak
kurang gizi dan kelaparan. Nasi aking menjadi salah satu menu rakyat.
Itu terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Malah di Makassar dan beberapa kota lain, dilaporkan orang meninggal dunia karena berhari-hari tak tersentuh makanan.
Indonesia
dinyatakankan badan kesehatan PBB, WHO, sebagai negara dengan korban
flu burung terbanyak di dunia. Penyakit HIV-AIDS berkembang tak
terkendali sampai ke daerah terpencil . Serangan diare di mana-mana.
Bemacam penyakit aneh – seperti lumpuh layu – bermunculan. Pengangguran
melonjak.
Artinya, kini kemiskinan telah merebak. Pantaslah Indonesia dikategorikan negara gagal. PBB memperhitungkan hampir separuh penduduk Indonesia
hidup di bawah dua dollar perhari. Bagaimana orang bisa hidup dengan
uang Rp 18.000 sehari di tengah harga pangan meloncat tak terkendali?
Adalah
pemandangan sehari-hari menyaksikan antrean panjang di pelbagai pelosok
Tanah Air. Beras, minyak tanah, minyak goreng, gas, bagi rakyat miskin
harus diperoleh dengan antrean berjam-jam. Itu indikator bahwa
Pemerintah tak lagi mampu menyediakan barang kebutuhan pokok yang cukup
untuk rakyatnya.
Tapi di tengah kemiskinan dan kelaparan itu ada berita bagus: orang kaya Indonesia justru bertambah kaya. Seperti ditulis majalah bisnis Forbes, 13 Desember 2007, pada tahun lalu, kekayaan para konglomerat Indonesia
melompat dua kali lipat. Majalah itu menyebutkan kini Indonesia
memiliki 40 konglomerat –- dengan kekayaan minimal 120 juta dollar atau
lebih Rp 1 trilyun –- dan yang paling kaya adalah Menko Kesra Aburizal
Bakrie.
Sepanjang
2007, kekayaan bersih Aburizal meningkat lebih empat kali lipat,
menjadi 5,4 milyar dollar. Sungguh menakjubkan. Dengan itu ia menyalib
Sukanto Tanoto, pemilik pabrik pulp dan produsen minyak kelapa sawit
terbesar, dengan kekayaan 4,7 milyar dollar.
Rakyat
tambah miskin, kenapa konglomerat tambah kaya? Terlalu panjang bila itu
dijelaskan dengan rinci di sini. Yang pasti, sistem ekonomi liberal di
mana pun di dunia ini – termasuk di Amerika Serikat – menjadikan orang
kaya yang segelintir jumlahnya selalu bertambah kaya.
Sejatinya sistem ini memang untuk memanjakan orang kaya. Contoh konkret, lihatlah Amerika Serikat yang sedang dilanda resesi. Pemerintah mau pun The Federal Reserve (biasa disebut The Fed,
semacam BI di sini) sibuk membantu, menjamin, atau melobi, agar
perusahaan besar selamat dari kebangkrutan. Sementara 2 juta pemilik
rumah yang kreditnya macet dan dimiliki orang menengah tak dipedulikan.
Mereka harus pindah karena rumahnya akan disita.
Itulah persis yang terjadi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998. Para konglomerat diselamatkan Pemerintah atas perintah Bank Dunia dan IMF. BI
mengucurkan BLBI lebih Rp 600 trilyun. Umumnya dana ini dikemplang para
konglomerat. Sementara itu berapa banyak pengusaha kecil dan menengah
yang bangkrut oleh krisis tak sedikit pun dipedulikan Pemerintah.
Banyak
perlakuan lain yang mengistimewakan para konglomerat. Misalnya, sejak
dibentuk KPK sibuk menangkap dan menjebak para koruptor kelas teri –
semacam Mulyana W.Kusumah atau Rochmin Dahuri – tapi tak satu
konglomerat pun yang terjerat.
Dua
konglomerat penerima BLBI paling besar, Syamsul Nursalim dan Anthony
Salim, dinyatakan Kejaksaan Agung tak bisa dituntut karena tak cukup
bukti. Beberapa hari kemudian KPK menangkap Jaksa Urip,
penyidik kasus itu. Ia tertangkap tangan menerima Rp 6 milyar dari
Artalyta Suryani, pembantu Syamsul Nursalim. Tapi konglomerat itu tetap
aman-aman saja. Keputusan membebaskannya, sekali pun sudah terbukti ada
suap di baliknya, tak pernah diralat. Masih kurang jelas?
Lihat
kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Ratusan rakyat menjadi
korban. Rumah tenggelam, mata pencarian hilang, tapi sampai kini tak
seorang pun yang diseret menjadi terdakwa karenanya.
Malah
belakangan Pemerintah menetapkan sejumlah korban akan mendapat ganti
rugi dari APBN, bukan dari PT Lapindo Brantas. Padahal sudah terungkap
sebelumnya, ada tuduhan kesalahan teknis dalam pengeboran sumur minyak
dan gas. Pelan-pelan cerita itu kini menghilang. Semua orang tahu,
pemilik Lapindo adalah salah satu orang terkaya Indonesia.
Tulisan
ini tentu saja tak ingin mempertentangkan kelas kaya dan miskin. Yang
hendak dikatakan bahwa semua gejala yang terjadi adalah konsekuensi dari
sistem politik dan ekonomi yang digunakan sejak Indonesia memasuki era reformasi 1998.
DPR Cukup Efektif
Marilah
membicarakannya dengan jujur, tanpa dusta atau kepura-puraan. Mari
melepaskan topeng-topeng yang kita pakai selama ini. Sistem demokrasi
kita sekarang, jelas sebuah sistem yang amat mahal, dan sebagaimana
studi Profesor Huntington tadi, terbukti sukses di negeri dengan
penduduk berpenghasilan tinggi, bukan negeri miskin semacam Indonesia.
Siapa
pun setuju, proses pemilihan Presiden Amerika sangat atraktif dan
ideal, menjadi panggung hiburan bagi dunia. Tapi berapa banyak sudah
dollar yang dihabiskan para nominator calon presiden Barack Obama,
Hillary Clinton, mau pun John McCain, selama satu tahun ini. Padahal
pemilihan yang sesungguhnya baru November 2008, masih 7 bulan lagi.
Semua
biaya itu bisa diongkosi rakyatnya karena pendapatan perkapita Amerika
Serikat 50.000 dollar. Jelas tak bisa dibandingkan dengan Indonesia
yang hanya 1000 dollar lebih sedikit. Sebagai pengumpul dana kampanye
terbesar, misalnya, sampai akhir Maret lalu, Senator Barack Obama telah
memperoleh 234 juta dollar atau Rp 2,1 trilyun. Dalam bulan Maret saja
Obama mendapat dana lebih 40 juta dollar, dengan 218.000 penyumbang
baru.
Jumlah
fantastis itu tak sulit dihimpun, karena Obama memiliki 1,3 juta
penyumbang. Berarti, tiap donator rata-rata tak sampai 200 dollar atau
Rp 1,8 juta, masih jauh dari batas maksimal sumbangan perorangan yang
diperbolehkan undang-undang, 2300 dollar (sekitar Rp 20 juta). Jumlah
itu tentu tak memberatkan bagi para Obamania, termasuk untuk membiayai
kampanye pemilihan presiden nanti yang jumlahnya pasti lebih besar, bila
Obama lolos ke babak final.
Dana
kampanye Hillary Clinton memang kalah dari Obama. Begitu pun sampai
sekarang ia sudah memperoleh 175 juta dollar atau hampir Rp 1,6 trilyun.
Lihatlah konser musik penyanyi Inggris Elton John, untuk mengumpulkan
dana bagi Hillary, di Radio City Music Hall, New York, 9 April lalu. Malam itu saja dari penjualan tiket terkumpul 2,5 juta dollar (Rp 22,5 milyar).
Itulah
yang tak mungkin terjadi di sini. Sungguh mustahil negeri ini bisa
mengongkosi perhelatan politik yang begitu luks, kalau dengan cara yang
jujur. Mana ada rakyat yang mampu menyumbang jutaan rupiah kepada
calonnya, sementara untuk hidup sehari-hari saja sudah ngos-ngosan.
Padahal sekali pun tak sebesar di Amerika Serikat, proses rekrutmen
politik di Indonesia tetap butuh biaya yang sangat besar.
Berbagai
perhitungan menyebutkan, untuk kampanye menjadi anggota DPR dibutuhkan
dana sedikitnya Rp 1 milyar sampai Rp 3 milyar. Untuk bupati Rp 5 milyar
sampai Rp 20 milyar, dan gubernur bisa sampai Rp 100 milyar. Apalagi
untuk kursi Presiden, jumlahnya bisa berlipat-lipat. Dari mana dana
begitu besar diperoleh?
Karena
tak ada sumbangan rakyat – prakteknya rakyatlah yang disumbang politisi
— mereka mencari dana politik melalui para konglomerat. Itu sudah
menjadi rahasia umum. Hal tersebut dimungkinkan untuk politisi dengan
posisi tertentu. Tak heran bila konglomerat menempati
posisi istimewa. Mungkin ada pula politisi yang mendapat dana dari
negara asing, seperti dituduhkan Amien Rais waktu itu.
Pada
prakteknya, sumbangan itu nanti dibagi-bagi dalam jumlah kecil,
disesuaikan dengan batasan undang-undang. Lalu dicarikan alamat untuk
diatas-namakan sebagai penyumbang. Ini jelas penipuan atau praktek
korupsi yang lain. Pada Pilpres 2004, misalnya, KPU menemukan alamat
penyumbang yang tak jelas. Tapi mana mau KPU mengusutnya. Tampaknya semua sudah tahu sama tahu.
Sumber
dana yang lain adalah lembaga negara, apakah departemen, BUMN, atau
DPR. Bank BUMN kabarnya termasuk institusi yang efektif dalam
mengumpulkan dana kampanye. Begitu pula jabatan penting di daerah.
Semakin bergigi sebuah lembaga, semakin efektif ia sebagai kolektor dana
politik.
Dengan
wewenang yang cukup besar dalam sistem ini, DPR cukup ampuh sebagai
mesin pengumpul uang. Apakah melalui pembuatan undang-undang,
pengawasan, penyusunan anggaran, atau berbagai aktivitas lain. Buktinya
adalah Al Amin Nur Nasution dan kasus yayasan BI. Jadi sebenarnya Al
Amin-Al Amin yang lain yang berada di luar penjara jumlahnya lebih
banyak lagi. Apalagi sebentar lagi ada Pemilu.
Sesungguhnya apa yang dialami Indonesia,
sudah terjadi di Rusia di tahun 1990-an. Sistem politik dan ekonomi
liberal disyaratkan IMF dan Bank Dunia untuk Rusia setelah tumbangnya
rezim komunis Uni Soviet. Ternyata itu bukan resep yang pas tapi Boris
Yeltsin, pemimpin Rusia waktu itu, melaksanakannya dengan patuh.
Kenyataan
yang terjadi, politik menjadi kacau-balau dan ekonomi hancur-hancuran.
Pada masa itulah bisa dilihat di layar televisi rakyat mengikuti antrean
berkilometer di tengah hutan salju, hanya demi sepotong roti. Semua
berubah setelah Vladimir Putin menggantikan Yeltsin, akhir 1999.
Belum setahun, April 2000, Carnegie Endowment, sebuah lembaga think-tank dari Washington,
melaporkan sejumlah indikator yang mebiarawatijukkan tanda-tanda
kebangkitan ekonomi Rusia. ‘’Minyak dan gas tak menonjol dalam pemulihan
ekonomi ini,’’ begitu laporan Carnegie Endowment yang dirilis 4 April 2000.
Sulap
apa yang dilakukan Putin? Ia campakkan sistem liberal yang dulu dipakai
Yeltsin, termasuk hiruk-pikuk pemilihan langsung yang mahal itu.
Sejumlah konglomerat nakal yang menangguk untung dari keruhnya kondisi
Rusia pada waktu peralihan – dijuluki kaum oligarki – dihadapi Putin. Dan rakyat mendukungnya.
Beberapa di antara mereka lari ke luar negeri. Michail Khodorkovsky, orang terkaya Rusia, harus menjalani hukuman 10 tahun penjara di Siberia.
Kini Rusia merupakan salah satu negara dengan perekonomian paling kuat
di dunia. Apalagi setelah harga minyak dunia melambung.
Amran Nasution, Direktur Institute for Policy Studies
0 komentar:
Posting Komentar